[Review] Geostorm (2017)

Geostorm banner

Sebuah alat pengatur cuaca mengalami kerusakan, berbagai bencana alam siap melumpuhkan bumi, dan bumi pun diambang kehancuran.  Ya ya ya, sudah begitu banyak film dengan tema disaster seperti ini. Sebut saja ‘2012’ ataupun ‘The Day After Tomorrow’, tidak persis sama namun menu utamanya tetap satu. Disaster. Opps, disaster? Here we go, ‘Geostorm’.

Jake Lawson (Gerard Butler) harus menelan pil pahit dipecat dari pekerjaannya karena ketidaksepahamannya perihal penanganan Dutch Boy – sebuah mesin pengatur cuaca yang merupakan rancangannya. Beberapa tahun setelah hal tersebut, mulai muncul berbagai keanehan, seperti membekunya sebuah perkampungan di tengah gurun pasir di Afganistan dan tewasnya seorang tehnisi dikarenakan kecelakan yang terjadi di Dutch Boy. Ditenggarai adanya malafungsi pada alat pengontrol cuaca yang terletak ribuan kilometer diatas bumi tersebut, Jake Lawson pun kembali dipanggil untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Namun sepertinya menyelesaikannya bukanlah perkara yang mudah, Jake harus membongkar sebuah konspirasi besar yang ada, dan satu-satunya cara menyelamatkan bumi adalah dengan membongkar konspirasi tersebut atau nasib bumi berada di ambang kehancuran.

Pfiuh. Melelahkan. Menghabiskan 109 menit menyaksikan film ini terasa begitu melelahkan. Tidak ada satu hal pun yang mampu mengikat di sepajang penceritaannya. Dengan naskah yang ditulis bersama oleh Dean Devline dan  Paul Guyot – yang sama-sama pernah terlibat dalam penulisan naskah ‘The Librarian’ – berbagai hal tidak masuk akal dan terkesan mengada-ada seakan menjadi hal lumrah disini. Konflik-konfliknya pun terasa begitu dipaksakan. Dean Devlin sendiri bukanlah orang baru dalam hal (film) seperti ini, bersama Rolland Emmerich dia pernah memproduseri ‘Independence Day’ dan juga ‘Godzilla’. Wait a sec, did I say Rolland Emmerich? Yep, mungkin Emmerich menjadi salah satu orang yang memberikan pengaruh besar terdadap film ini, hingga terasa begitu Emmerich, let say ‘The Day After Tomorrow’ atau ‘2012’ yang fenomenal – karena mengusung isu kiamat – itu. A full plate of disaster with a bunch of dumbness.

Selain itu, dari jajaran pemainnya pun tidak memberikan kontribusi yang memadai, not even its leads, Gerard Butler (London has Fallen) ataupun Jim Sturgess (Stonehearst Asylum). Beruntunglah masih ada Ebbie Cornish (6 Days) yang lebih meyakinkan yang berperan sebagai Secret Service. Untuk tingkat kehancuran yang ditawarkan mungkin tidak ada bedanya dengan film-film lain yang mengusung tema sejenis. Tidak ada hal yang baru, bahkan tidak lebih baik dari film-film sebelumnya.

 Ok, let’s wrap it up. We’ve seen a lot of this kind of movie. A LOT. And it’s even better. We need something new, something good, something better. Well, Dean Devlin’s newest disaster movie won’t add something new to its genre, as been told before, it’s just a full plate of disaster with a bunch of dumbness.

 

[Review] Pengabdi Setan (2017)

Banner Pengabdi Setan

Akan sangat sulit bagi sineas manapun bila harus diberikan tanggung jawab untuk membuat film yang merupakan sekuel atau prekuel atau expanded universe – atau apapun itu namanya – dari sebuah film yang pernah sukses. Terlebih lagi bila harus me-remake sebuah film klasik yang sudah sangat legendaris, dikenal di mancanegara hingga memangku status cult bagi para penggemarnya. Adalah Pengabdi Setan, film yang diproduksi di bawah bendera Rapi Film dan disutradarai oleh Sisworo Gautama Putra pada tahun 1980 ini berkesempatan di-remake. Sebuah tantangan yang besar bagi siapapun yang akan menyutradarainya terlebih lagi dengan berbagai status yang telah melekat pada film tersebut. Dialah Joko Anwar (A Copy of My Mind, Modus Anomali) yang berani nerima tantangan ini.  Well, here we go, Pengabdi Setan.

Bersama bapaknya, Suwono (Bront Palarae), Rini (Tara Basro) beserta ketiga adiknya – Toni (Endy Arfian), Bondi (Nasar Anuz), Ian (Adhiyat Abdulkadir) dan neneknya – harus menjaga ibunya, Mawarni (Ayu Laksmi), mantan seorang penyanyi yang semenjak 3 tahun belakangan ini harus tergeletak sakit. Jangankan berbicara, untuk berkomunikasi saja Mawarni mengalami kesulitan, bahkan ia hanya menggunakan lonceng kecil untuk memanggil anaknya. Namun sayang, Mawarni tidak mampu bertahan dari penyakitnya. Setelah sepeninggal Mawarni,  Suwono pun pergi ke kota mencari nafkah, sejak itulah berbagai macam terror mulai menghantui Rini dan adik-adiknya. Keselamatan mereka terancam, sebuah rahasia kelam tentang keluarga itu menunggu untuk terkuak. Sebuah rahasia yang hanya diketakui oleh Mawarni, Suwono dan neneknya.

First of all, let’s talk about the script. Naskah yang langsung ditulis oleh Joko Anwar berdasarkan cerita yang ditulis oleh Sisworo Gautama, Imam Tantowi, Naryono Prayitno dan Subagio Samtani ini cukup memberikan peluang bagi karakter-karakternya untuk berkembang. Masing-masing karakternya diperkenalkan dan diberi waktu yang pas sehingga lebih mudah bagi penikmatnya untuk berempati terhadap kondisi yang dialaminya.

Beda halnya dengan horor pada umumnya yang kerap menggunakan tehnik jump scare dalam memberikan efek takut bagi penontonnya, Joko lebih menitikberaktkan pada karakter-karakternya, atmosfer yang mencekam secara visual hingga penggunaan practical effect untuk menghasilkan tokoh mistisnya. Selain itu juga di sepanjang durasinya yang mencapai 100 menit lebih itu, Joko tidak lupa pula menyelipkan celetukan-celetukan khasnya yang semakin membuat film horor ini tampil segar bahkan pada moment yang menuntut rasa takut.

Seperti halnya film-film Joko Anwar lainnya yang kerap menjadi bahan diskusi setelah film berakhir, film ini juga memancing hal yang sama. Begitu banyak adegan-adegan yang mengundang tanya yang tidak terjawab dalam penceritaannya, belum lagi adegan penutupnya (yang sepertinya akan membuat penonton yang belum melihat versi sebelumnya bertanya-tanya). That’s Joko. Dia tidak akan begitu gamblang menjelaskan A to Z tanpa meninggalkan pertanyaan-pertanyaan yang menggantung dalam setiap film-filmnya.

Namun bukan berarti tanpa cela, ada bagian pengadeganannya yang terasa seperti sempilan sketsa yang terkesan hanya menempel dengan kisah lain. Sedikit penambahan waktu sebagai bridging menuju adegan tertentu akan lebih baik, sehingga akan menghilangkan kesan sempilan tersebut. Selain itu juga penggunaan bahasanya juga terdengar kaku. Banyak sekali pelafalan-pelafalan dalam dialognya yang terkesan janggal. Terutama untuk penggunaan kata “Kau”, alih-alih (mungkin) ingin menunjukkan identitas kesukuan karakter-karakternya, tetapi jatuhnya malah terdengar aneh, kurang natural.

Dari jajaran pemainnya, selain Tara Basro (Ini Kisah Tiga Dara, 3 Srikandi) yang sudah tidak perlu ragukan lagi penampilannya, adalah Adhiyat Abdulkhadir yang berperan sebagai Ian, sosok aktor cilik yang tampil begitu natural pada film ini. Sebagai anak yang memiliki disabilitas, ia mampu tampil begitu meyakinkan. Sedangkan dari department tehnis, baik sinematografi di bawah kendali Ical Tanjung (A Copy of My Mind), Art Decor yang ditangani Allan Sebastian (Kartini) hingga tata musik yang ditangani oleh Tony Merle, Agni Narottama dan Bembi Gusti, rekan yang telah sering bekerja sama dengan Joko, masing-masing memberikan kontribusi positif terhadap keberhasilan film ini memberikan nuansa horor, let say suasana yang mencekam, pemanfaatan setting minim yang maksimal hingga iringan musiknya begitu kental.

Ok, let’s wrap it up. Terlepas dari level ketakutan setiap orang berbeda-beda, apa yang membuat sebuah film horor mampu benar-benar tampil menakutkan? Jawabannya bisa, penyutradaraan, naskah, tim produksi lainnya hingga tentu saja kedekatan secara kultural dengan film itu sendiri. Dan Pengabdi Setan punya semuanya. Sebuah remake yang berhasil. Ya, paling tidak Sisworo Gautama bisa bahagia, legacy-nya terus berjaya.

 

[Review] Secret Superstar (2017)

Aamir-Khan-Secret-Superstar-1st-day-collections

Aamir Khan never fails. Lihat saja beberapa filmnya belakangan, ‘3 Idiots’, ‘Dhoom 3’, ‘PK’ hingga ‘Dangal’, tidak ada satupun yang tampil mengecewakan, semuanya filmnya hadir dengan kekuatannya masing-masing. Kali ini, masih dengan bendera Aamir Khan Production, ia mempercayakan proyek filmnya untuk ditulis sekaligus disutradari oleh Manager-nya sendiri, Advait Chandan. Bercerita tentang gadis remaja dengan perjuangannya untuk menggapai mimpi. Here we go, Secret Superstar.

Insia (Zaira Wasim) adalah seorang gadis remaja yang memiliki mimpi, berdiri tegak di atas panggung dengan penghargaan sebagai penyanyi wanita terbaik. Namun sayang, mimpi tersebut harus terbelenggu oleh keotoriteran ayahnya, Farookh Malik (Raj Arjun). Hanyalah sang ibu, Najma Malik (Meher Vij) yang secara diam-diam masih mendukung, tanpa diketahui Farookh. Bila hal tersebut diketahui, jangankan Najma, ia pun bisa menjadi korban kekejaman ayahnya.

Dengan bantuan Najma, langkah menuju mimpi Insia pun dimulai dengan membuat akun di kanal Youtube, dengan nama samaran Secret Superstar ia menyalurkan hasrat bernyanyinya. Keberuntungan menghampiri, Secret Superstar pun menjadi viral dan dibicarakan di mana-mana. Hingga suatu hari seorang musisi, Shakti Kumar (Aamir Khan) melihat video tersebut dan mengundangnya ke Mumbay. Ia pun diam-diam pergi ke kota tanpa diketahui orang tuanya. Ditengah upayanya mengejar mimpi, ayahnya justru ingin menikahkannya dengan pemuda di Arab Saudi. Tak ada pilihan bagi Insia, ia harus mengikuti perintah ayahnya. Seluruh jembatan menuju mimpi yang telah bangunnya selama ini harus  hancur. Tinggallah sang ibu, dengan sepenggal keberanian yang tersisa mencoba mewujudkan mimpi tersebut.

First thing first, Advait Chandan boleh dikatakan berbakat. Dengan pengalamannya sebagai asisten sutradara pada beberapa film (Bollywood Hero, Dhobi Ghat) ia memberanikan diri untuk langsung menulis naskah untuk debut film panjang perdananya ini. Dan hasilnya tidak mengecewakan, bahkan memuaskan. Dengan premis yang begitu umum, ia mampu menyajikan film ini menjadi memikat. Meskipun dengan paruh awal yang kental dengan unsur layaknya opera sabun pada umumnya, namun mampu ditutup dengan konklusi yang begitu kuat menggambarkan inti pesan film ini. Dramatisasinya pun tidak perlu berlebihan, karena ia cukup tahu bagaimana membangun ikatan emosi pada setiap karakternya. Tak bisa dipungkiri, Secret Superstar merupakan salah satu tearjerker tahun ini.

Dari jajaran pemainnya, mungkin ini adalah salah satu film yang seluruh pemainnya dapat dikatakan bermain dengan baik. Bahkan untuk peran pendukung. sebut saja, Raj Arjun – berperan sebagai ayah – meskipun dengan screen time yang relatif sangat sedikit namun mampu menjadi antagonis yang sangat menghantui disetiap kemunculannya, Meher Vij (Bajrangi Bhaijaan) –  dengan ketulusannya  hingga Kabir Sajid – adik Insia – dan Tirth Sharma – teman Insia – dengan kepolosannya. Meskipun begitu, spotlight utama tetap kepada – dan tentu saja – Zaira Wasim yang begitu memikat. She such a miracle.

Ok, let’s wrap it up. Dipermukaan, Secret Superstar memang bercerita tentang mimpi dan pencapaiannya, namun sesungguhnya di sisi lain dan lebih dari itu, film ini juga bercerita tentang keberanian. Di tengah kenyataan dimana wanita kerap hanya menjadi objek pelengkap bagi mahluk yang bernama pria ataupun hanya menjadi objek penderita dari kedigjayaan pria,  film ini justru berani untuk mengatakan “TIDAK”, namun tetap dengan penyampaian yang masuk akal. Secret Superstar, sebuah sajian lengkap untuk keluarga, sebuah hadiah untuk keberanian.

[Review] Happy Death Day (2017)

Happy-Death-Day-Movie-banner-poster

Meski bukanlah hal baru, film dengan premis time loop ini memang sudah sering diangkat ke layar lebar, sebut saja beberapa yang paling anyar seperti film Korea ‘A Day’, ‘Before I Fall’ hingga salah satu yang paling dikenal ‘Groundhog Day’. Namun sesuatu yang biasa bisa menjadi tidak biasa atau malah luar biasa bila mendapatkan treatment yang tepat. Nah, film ini adalah salah satunya, well, here we go ‘Happy Death Day’

Theresa Gelbman (Jessica Rothe) – atau yang biasa dipanggil Tree – pagi itu terbangun di kamar Carter (Israel Broussard), seorang pria yang tidak dikenalnya. Carter mengatakan bahwa ia membawa Tree ke kamarnya karena ia begitu mabuk pada malam sebelumnya. Menyadari hal itu Tree pun segera kembali ke asramahnya. Hari itu – yang kebetulan adalah hari ulang tahunnya – semua berjalan seperti biasa. Mengikuti kuliah pagi, bertemu dengan teman satu klub, hingga rencananya untuk pergi ke sebuah pesta. Ketika Tree menuju tempat pesta, tanpa diketahuinya, seseorang bertopeng bayi telah menunggunya disebuah terowongan. Tree berusaha melarikan diri dari sosok misterius tersebut, namun sayang, sosok tersebut berhasil membunuhnya.

Tree terbangun kembali di kamar Carter. Ia merasakan ada sesuatu yang aneh, seolah ia bermimpi terbunuh semalam. Namun apa yang dialaminya hari itu sama persis seperti yang pernah dialaminya kemarin. Tree pun menyadari ia berada pada sebuah time loop, dimana ia akan kembali terbangun di kamar Carter ketika ia terbunuh. Dengan kondisi yang seperti itu, kini ia harus mencegah terjadinya pembunuhan atas dirinya dan mencari tahu siapa sosok misterius bertopeng bayi tersebut, atau dia akan terus terjebak dalam time loop.

Menyenangkan. Ya mungkin kata tersebut cukup mewakili rasa yang muncul ketika menyaksikan film ini. Scott Lobdell, sebagai script writer cukup memberikan sentuhan-sentuhan segar dalam naskahnya. Kehidupan asrama perempuan lengkap dengan persaingan antar mahasiswinya, klub-klub perkumpulan, hingga nyinyiran khas yang mengulik tawa. Bukan hanya itu, Lobdell juga memberikan keleluasaan bagi Jessica Rothe (La La Land) untuk menjadi kharakternya. And tadaa, she fits on it.

Next, bukan thriller slasher bila tanpa adegan teriakan dan berlari menyelamatkan diri. Yah, ini sedikit mengingkatkan pada dekade 90-an, dimana banyak film-film sejenis seperti franchise ‘Scream’ ataupun ‘I Know What You Did Last Summer’, dimana tokoh utamanya harus berlari, berteriak sekencang mungkin dan menyelamatkan diri dari sosok pembunuh misterius. It was fun to see those kind of things nowadays.

Ok, let’s wrap it  up. Film sempat berganti judul dari ‘Half to Death’ dan lead-nya yang sebelumnya Megan Fox ini memang menyenangkan terlebih lagi karena dialog sarkasme-sarkasme khas rivalitas mahasiswi kampusnya. Kesenangan mana lagi yang kau dustakan ketika menyaksikan tokoh utamanya harus berteriak, berlari dan menyelamatkan diri dari pembunuh misterius?