[Review] Pengabdi Setan (2017)

Banner Pengabdi Setan

Akan sangat sulit bagi sineas manapun bila harus diberikan tanggung jawab untuk membuat film yang merupakan sekuel atau prekuel atau expanded universe – atau apapun itu namanya – dari sebuah film yang pernah sukses. Terlebih lagi bila harus me-remake sebuah film klasik yang sudah sangat legendaris, dikenal di mancanegara hingga memangku status cult bagi para penggemarnya. Adalah Pengabdi Setan, film yang diproduksi di bawah bendera Rapi Film dan disutradarai oleh Sisworo Gautama Putra pada tahun 1980 ini berkesempatan di-remake. Sebuah tantangan yang besar bagi siapapun yang akan menyutradarainya terlebih lagi dengan berbagai status yang telah melekat pada film tersebut. Dialah Joko Anwar (A Copy of My Mind, Modus Anomali) yang berani nerima tantangan ini.  Well, here we go, Pengabdi Setan.

Bersama bapaknya, Suwono (Bront Palarae), Rini (Tara Basro) beserta ketiga adiknya – Toni (Endy Arfian), Bondi (Nasar Anuz), Ian (Adhiyat Abdulkadir) dan neneknya – harus menjaga ibunya, Mawarni (Ayu Laksmi), mantan seorang penyanyi yang semenjak 3 tahun belakangan ini harus tergeletak sakit. Jangankan berbicara, untuk berkomunikasi saja Mawarni mengalami kesulitan, bahkan ia hanya menggunakan lonceng kecil untuk memanggil anaknya. Namun sayang, Mawarni tidak mampu bertahan dari penyakitnya. Setelah sepeninggal Mawarni,  Suwono pun pergi ke kota mencari nafkah, sejak itulah berbagai macam terror mulai menghantui Rini dan adik-adiknya. Keselamatan mereka terancam, sebuah rahasia kelam tentang keluarga itu menunggu untuk terkuak. Sebuah rahasia yang hanya diketakui oleh Mawarni, Suwono dan neneknya.

First of all, let’s talk about the script. Naskah yang langsung ditulis oleh Joko Anwar berdasarkan cerita yang ditulis oleh Sisworo Gautama, Imam Tantowi, Naryono Prayitno dan Subagio Samtani ini cukup memberikan peluang bagi karakter-karakternya untuk berkembang. Masing-masing karakternya diperkenalkan dan diberi waktu yang pas sehingga lebih mudah bagi penikmatnya untuk berempati terhadap kondisi yang dialaminya.

Beda halnya dengan horor pada umumnya yang kerap menggunakan tehnik jump scare dalam memberikan efek takut bagi penontonnya, Joko lebih menitikberaktkan pada karakter-karakternya, atmosfer yang mencekam secara visual hingga penggunaan practical effect untuk menghasilkan tokoh mistisnya. Selain itu juga di sepanjang durasinya yang mencapai 100 menit lebih itu, Joko tidak lupa pula menyelipkan celetukan-celetukan khasnya yang semakin membuat film horor ini tampil segar bahkan pada moment yang menuntut rasa takut.

Seperti halnya film-film Joko Anwar lainnya yang kerap menjadi bahan diskusi setelah film berakhir, film ini juga memancing hal yang sama. Begitu banyak adegan-adegan yang mengundang tanya yang tidak terjawab dalam penceritaannya, belum lagi adegan penutupnya (yang sepertinya akan membuat penonton yang belum melihat versi sebelumnya bertanya-tanya). That’s Joko. Dia tidak akan begitu gamblang menjelaskan A to Z tanpa meninggalkan pertanyaan-pertanyaan yang menggantung dalam setiap film-filmnya.

Namun bukan berarti tanpa cela, ada bagian pengadeganannya yang terasa seperti sempilan sketsa yang terkesan hanya menempel dengan kisah lain. Sedikit penambahan waktu sebagai bridging menuju adegan tertentu akan lebih baik, sehingga akan menghilangkan kesan sempilan tersebut. Selain itu juga penggunaan bahasanya juga terdengar kaku. Banyak sekali pelafalan-pelafalan dalam dialognya yang terkesan janggal. Terutama untuk penggunaan kata “Kau”, alih-alih (mungkin) ingin menunjukkan identitas kesukuan karakter-karakternya, tetapi jatuhnya malah terdengar aneh, kurang natural.

Dari jajaran pemainnya, selain Tara Basro (Ini Kisah Tiga Dara, 3 Srikandi) yang sudah tidak perlu ragukan lagi penampilannya, adalah Adhiyat Abdulkhadir yang berperan sebagai Ian, sosok aktor cilik yang tampil begitu natural pada film ini. Sebagai anak yang memiliki disabilitas, ia mampu tampil begitu meyakinkan. Sedangkan dari department tehnis, baik sinematografi di bawah kendali Ical Tanjung (A Copy of My Mind), Art Decor yang ditangani Allan Sebastian (Kartini) hingga tata musik yang ditangani oleh Tony Merle, Agni Narottama dan Bembi Gusti, rekan yang telah sering bekerja sama dengan Joko, masing-masing memberikan kontribusi positif terhadap keberhasilan film ini memberikan nuansa horor, let say suasana yang mencekam, pemanfaatan setting minim yang maksimal hingga iringan musiknya begitu kental.

Ok, let’s wrap it up. Terlepas dari level ketakutan setiap orang berbeda-beda, apa yang membuat sebuah film horor mampu benar-benar tampil menakutkan? Jawabannya bisa, penyutradaraan, naskah, tim produksi lainnya hingga tentu saja kedekatan secara kultural dengan film itu sendiri. Dan Pengabdi Setan punya semuanya. Sebuah remake yang berhasil. Ya, paling tidak Sisworo Gautama bisa bahagia, legacy-nya terus berjaya.